ANALISIS YURIDIS PARLIAMENTARY THRESHOLD DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD
No Thumbnail Available
Date
2013-03-16
Authors
Journal Title
Journal ISSN
Volume Title
Publisher
Abstract
Aturan parliamentary threshold telah dipraktekan Pemilu 2009 yang bertujuan
menyederhanakan jumlah partai politik di parlemen dengan besaran 2,5%. Menjelang Pemilu
2014 DPR merubah UU No10 Tahun 2008 tentang Pemilu menjadi UU No 8 Tahun 2012 yang
salah satunya merubah pasal yang terkait ketentuan parliamentary threshold dengan menaikan
angka threshold menjadi 3,5% dan di berlakukan secara nasional dalam menentukan kursi
anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kab/kota. Inilah catatan kontroversi dalam UU
Pemilu yang baru yang berujung partai kecil menggugatnya.
Pengaturan Parliamentary Threshold dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang
Pemilu tercantum dalam pasal 208 dengan ketentuan apabila partai politik peserta pemilu tidak
mencapai 3,5% suara sah secara nasional maka partai tersebut tidak dapat mengirimkan
wakilnya ke DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota. Sebelumnya pada pemilu 2009
Parliamentary Threshold hanya 2,5% dan berlaku hanya di level DPR RI. Dengan
pemberlakuan Parliamentary Threshold 3,5% secara nasional untuk penentuan perolehan kursi
DPR, DPRD Povinsi dan DPRD kabupaten/kota maka banyak masyarakat yang akan kehilangan
kedaulatannya dan hal tersebut jelas melanggar konstitusi seperti yang ditegaskan oleh
Mahkamah Konstitusi dalam putusan pengujian UU No. 8 Tahun 2012. Sebaiknya aturan
pemberlakuan parliamentary threshold 3,5 persen hanya berlaku dilevel DPR saja atau tidak
diberlakukan dalam penentuan kursi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Hal ini
mengingat banyaknya partai lokal yang muncul karena masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang majemuk dan untuk menjaga kedaulatan rakyat ditingkat daerah dan menjaga
marwah UU Dasar 1945