Thamrin, Husni2016-07-192016-07-192016-07-19978-979-792-675-5http://repository.unri.ac.id/xmlui/handle/123456789/8477Paradigma antroposentrik telah menjauhkan manusia dari alam, sekaligus menyebabkan sikap eksploitatif dan tidak peduli terhadap alam.Dalam kaitan dengan itu, krisis ekologi dilihat pula sebagai disebabkan oleh cara pandang mekanistis-reduksionistis-dualistis dari ilmu pengetahuan Cartesian. Cara pandang yang antroposentris dikoreksi oleh etika bio-sentrisme dan ekosentrisme, khususnya Deep Ecology, untuk kembali melihat alam sebagai sebuah komunitas etis .Konsep eco-culture sesungguhnya sudah sejak awal mula dipraktikkan oleh masyarakat adat atau masyarakat-masyarakat tradisional di tempat lainnya.Cara pandang mengenai manusia sebagai bagian integral dari alam, serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta, telah menjadi cara pandang dan perilaku berbagai masyarakat adat Sebagian kearifan lokal dalam pemeliharaan lingkungan hidup di antaranya masih tetap bertahan di tengah hempasan arus pergeseran oleh desakan cara pandang antroposentrik. Ada pula yang sedang mengalami krisis karena desakan pengaruh modernisasi tersebut. Sementara yang lain, hanyut terkikis hilang ditelan modernisasi dan cara pandang yang antroposentrik. Dalam konteks itu, ekoculture, khususnya Deep Ecology, mendorong untuk meninggalkan cara pandang yang antroposentris, dan ketika cara pandang kehidupan yang holistik mengajak untuk meninggalkan cara pandang antroposentrik, manusia sesungguhnya diajak untuk kembali ke kearifan lokal, kearifan lama masyarakat adat. Dengan kata lain, etika lingkungan hidup adalah menghimbau dan mengajak manusia saat ini untuk kembali ke etika masyarakat adat yang masih relevan dengan perkembangan zaman. Inti pandangan ini adalah kembali ke alam, kembali ke jatidirinya sebagai manusiayang ekologisdalam perspektif eco-cultureen-USkearifan lokalecocultureantroposentrikECOCULTURE DALAM PELESTARIAN LINGKUNGANUR-Proceedings